Rebana Biang: Warisan Musik Religi yang Jadi Ciri Khas Betawi – Jakarta, ibu kota yang hiruk-pikuk dengan gemerlap modernitasnya, ternyata menyimpan kekayaan budaya yang luar biasa. Salah satu peninggalan tradisi yang masih hidup dan terus diwariskan dari generasi ke generasi adalah Rebana Biang — alat musik pukul khas Betawi yang memiliki suara khas, ukuran besar, dan makna mendalam dalam setiap dentingannya.
Rebana Biang bukan sekadar alat musik pengiring acara keagamaan, tetapi juga simbol identitas dan semangat masyarakat Betawi dalam menjaga nilai-nilai religius serta kebersamaan. Bunyi tabuhannya yang ritmis dan menggema sering terdengar dalam berbagai acara adat, peringatan Maulid Nabi, hingga hajatan warga.
Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang asal-usul, fungsi, dan keunikan Rebana Biang, serta bagaimana masyarakat Betawi terus berupaya melestarikan warisan musik religi yang sarat nilai budaya ini di tengah gempuran zaman modern.
Asal-Usul dan Keunikan Rebana Biang
Rebana Biang merupakan salah satu bentuk alat musik rebana yang berkembang di wilayah Betawi. Kata “biang” dalam bahasa Betawi berarti “yang besar” atau “yang utama,” dan benar saja, Rebana Biang adalah rebana berukuran terbesar di antara jenis rebana lainnya. Diameternya bisa mencapai 90 hingga 120 sentimeter, dengan bingkai dari kayu nangka atau kelapa, serta kulit sapi sebagai membran penabuhnya.
Menurut catatan sejarah lisan masyarakat Betawi, Rebana Biang mulai dikenal sejak abad ke-19, dibawa oleh para ulama dan pedagang dari Timur Tengah yang datang ke Batavia. Alat musik ini awalnya digunakan untuk mengiringi lantunan syair-syair pujian kepada Nabi Muhammad SAW, seperti qasidah dan marhabanan. Seiring waktu, rebana ini berkembang menjadi bagian penting dari kesenian Betawi dengan sentuhan lokal yang kuat.
Keunikan utama Rebana Biang terletak pada ukuran, nada, dan cara memainkannya. Berbeda dengan rebana biasa yang dimainkan sambil dipegang, Rebana Biang diletakkan di lantai atau digantung di dudukan khusus karena berat dan diameternya yang besar. Pemainnya menabuh dengan tangan kosong menggunakan teknik khas agar menghasilkan suara bass yang dalam dan menggema.
Selain itu, dalam satu pertunjukan biasanya digunakan tiga buah Rebana Biang dengan ukuran berbeda. Masing-masing memiliki fungsi tertentu:
-
Rebana Biang Besar (Induk) menghasilkan suara bass dominan yang menjadi dasar ritme.
-
Rebana Biang Sedang (Anak) memberikan tempo yang lebih cepat.
-
Rebana Biang Kecil (Cucung) berperan sebagai pelengkap yang memperindah harmoni.
Kombinasi ketiganya menghasilkan irama yang kompleks namun indah — sebuah bentuk komunikasi musikal yang menggambarkan kekompakan, kebersamaan, dan semangat religius masyarakat Betawi.
Tak hanya berfungsi sebagai pengiring musik religi, Rebana Biang juga sering dipadukan dengan tarian dan nyanyian tradisional Betawi. Bunyi tabuhannya yang kuat mampu memikat perhatian, menciptakan suasana khidmat sekaligus meriah dalam setiap pertunjukan.
Makna Religi dan Upaya Pelestarian Rebana Biang
Lebih dari sekadar alat musik, Rebana Biang memiliki makna spiritual dan sosial yang mendalam bagi masyarakat Betawi. Dalam konteks religi, tabuhan Rebana Biang dipercaya sebagai bentuk ekspresi rasa cinta dan syukur kepada Allah SWT. Melalui lantunan syair dan irama rebana, masyarakat menyalurkan semangat dakwah dan mempererat ukhuwah Islamiyah.
Dalam acara marhabanan, misalnya, Rebana Biang mengiringi pembacaan shalawat kepada Nabi. Suara tabuhannya yang bergema seolah menjadi simbol panggilan untuk bersama-sama bershalawat dan mengingat kebesaran Allah. Bagi masyarakat Betawi, memainkan Rebana Biang bukan hanya hiburan, tetapi juga ibadah dan bentuk penghormatan terhadap tradisi leluhur.
Namun, seiring berkembangnya zaman dan masuknya budaya modern, keberadaan Rebana Biang sempat mengalami penurunan. Banyak generasi muda yang kurang mengenal atau tertarik untuk mempelajari alat musik tradisional ini. Hal ini membuat para seniman Betawi merasa perlu melakukan berbagai langkah pelestarian.
Salah satu tokoh penting dalam upaya menjaga keberlanjutan Rebana Biang adalah Ma’mun Nawawi, maestro rebana dari Kampung Setu Babakan, Jakarta Selatan. Ia bersama komunitasnya rutin mengadakan pelatihan Rebana Biang bagi anak muda, serta tampil dalam berbagai festival budaya Betawi dan acara keagamaan.
Selain itu, pemerintah daerah dan lembaga kebudayaan Betawi juga ikut mendukung dengan memasukkan Rebana Biang dalam kurikulum kesenian sekolah serta agenda wisata budaya seperti Festival Betawi dan Lebaran Betawi.
Menariknya, beberapa inovasi modern juga dilakukan untuk menarik perhatian generasi muda. Misalnya, perpaduan Rebana Biang dengan musik kontemporer seperti pop religi dan hip-hop Betawi. Meski terdengar tak biasa, kolaborasi ini terbukti efektif memperkenalkan alat musik tradisional ke audiens yang lebih luas tanpa menghilangkan nilai aslinya.
Bahkan kini, Rebana Biang mulai dikenal di mancanegara melalui pertunjukan budaya Indonesia di luar negeri. Para turis dan peneliti musik etnik banyak yang terpesona oleh bentuk dan bunyinya yang unik. Dengan cara ini, Rebana Biang tidak hanya menjadi kebanggaan warga Betawi, tetapi juga bagian dari warisan budaya dunia yang patut dilestarikan.
Kesimpulan
Rebana Biang bukan sekadar alat musik — ia adalah simbol keagamaan, identitas, dan kebersamaan masyarakat Betawi yang tak lekang oleh waktu. Suaranya yang menggema membawa pesan spiritual dan semangat budaya yang kuat. Di tengah arus modernisasi yang serba cepat, Rebana Biang mengingatkan kita bahwa akar tradisi adalah bagian penting dari jati diri bangsa.
Melalui pelatihan, pertunjukan, hingga inovasi musik, upaya pelestarian Rebana Biang terus berkembang. Generasi muda kini diharapkan bisa ikut berperan menjaga warisan ini agar tetap hidup, dikenal, dan dibanggakan hingga masa depan.
Dengan harmoni suara yang menggugah dan makna yang mendalam, Rebana Biang layak disebut sebagai permata budaya Betawi — warisan musik religi yang bukan hanya indah didengar, tapi juga mengajarkan tentang kesederhanaan, kebersamaan, dan cinta kepada Sang Pencipta.